Mengapa Kita Semakin Sulit Membaca?

Mengapa Kita Semakin Sulit Membaca?
Mengapa Kita Semakin Sulit Membaca?

(Dina Sulaeman)

Beberapa teman yabng berkomentar di status saya kemarin mengeluhkan hal yang sama, kok akhir-akhir ini semakin sedikit baca buku, lebih banyak 'main' hape (internetan). Saya jadi teringat tulisan saya sendiri, bertahun yang lalu. Saya copas di sini ya, siapa tahu bermanfaat, terutama reminder buat saya sendiri.

Dalam sebuah artikel berjudul Is Google Making Us Stupid? [1], Nicholas Carr (penulis buku berjudul "The Shallow") menulis:

**
Selama beberapa tahun belakangan ini saya punya perasaan yang tidak enak bahwa ada seseorang, atau sesuatu, mengutak-atik otak saya, mengubah jaringan saraf, memprogram ulang memoriku. Kemampuan berfikir saya, setahu saya, tidak sedang lenyap, tapi sedang berubah. Saya tidak berfikir lagi seperti saya dulu berfikir. Saya paling bisa merasakannya saat saya sedang membaca. Dulu mudah sekali untuk tenggelam dalam keasyikan membaca buku atau artikel panjang. Pikiran saya hanyut dalam jalan cerita atau lika-liku suatu argumen, dan saya bisa selama berjam-jam dengan santai menjelajahi tulisan prosa yang panjang.

Itu sekarang jarang terjadi lagi. Kini konsentrasi saya mulai buyar setelah dua atau tiga halaman. Saya mulai gelisah, lupa jalan cerita, mulai cari-cari kesibukan lain. Saya merasa seakan-akan harus terus menerus menyeret pikiran saya, yang mau lari entah kemana, kembali ke teks bacaan. Kegiatan membaca dengan penuh konsentrasi yang dulu merupakan sesuatu yang bisa saya lakukan dengan begitu saja, sudah menjadi suatu perjuangan.
**
Apa penyebabnya?
Carr menyimpulkan: internet.

Carr menjelaskan, gaya membaca bukanlah ‘naluriah’, tapi mengalami ‘pembentukan’; meskipun kita sudah dewasa, gaya membaca kita bisa saja berubah dan disetel ulang. Gaya membaca yang dipicu oleh internet mengutamakan efisiensi dan kesegeraan (immediacy) di atas segala-galanya. Dan gaya macam ini melemahkan kapasitas kita untuk membaca mendalam (deep reading). Bila kita membaca online, kita cenderung cuma menjadi “decoders of information“. Kemampuan kita untuk menginterpretasi teks, untuk membuat hubungan-hubungan mental yang terbentuk apabila kita membaca dengan mendalam dan penuh konsentrasi tidak diaktifkan.

Artikel lain yang ditulis Rolf Dobelli, sangat relevan dengan yang ditulis Carr. Saat kita 'main' internet, yang kita lakukan (umumnya) adalah mengkonsumsi berita. Nah, ternyata, mengkonsumsi berita terlalu banyak membuat kita "sakit". Berikut ini poin-poin utama artikel itu.

1. Berita bagi pikiran sama seperti gula untuk tubuh (gula adalah zat yang berbahaya untuk tubuh). Media memberi kita “makanan” yang mudah dicerna, yang tidak memerlukan banyak pemikiran, dan sebenarnya tidak terlalu terkait dengan kehidupan nyata kita. Tidak seperti membaca buku atau artikel panjang di majalah (yang memerlukan pemikiran), otak kita bisa menelan berita-berita singkat yang tak terbatas, bagaikan makan permen (dan terlalu banyak makan permen, tentu bikin diabetes, obesitas, dll)

2. Berita membuat pikiran kita salah fokus. Karena media butuh uang, maka mereka memproduksi berita yang “menarik” tapi tidak relevan buat kehidupan kita. Misalnya, saat ada kecelakaan pesawat, yang banyak disorot adalah manusianya (korban, keluarga korban, atau pejabat berwenang). Kita pun terus-menerus sibuk mengikuti apa yang disuapkan media kepada kita. Padahal yang relevan adalah masalah struktural: apa penyebab terjadinya kecelakaan, dan bagaimana langkah pemerintah utk mencegahnya terulang. Tapi berita pertama lebih murah untuk dibuat, berita kedua membutuhkan investigasi (dan mungkin akan ditekan sana-sini oleh pihak-pihak berduit yang takut dirugikan oleh berita investigasi). Salah fokus seperti ini, kalau dibiasakan, tentu akan berimbas dalam kehidupan sehari-hari, kemampuan menganalisis, dll.

3. Berita seringkali tidak relevan dengan kehidupan kita. Coba sebutkan, dari sekitar 10.000 berita yang Anda baca dalam 12 bulan terakhir, ada berapa berita yang memungkinkan Anda untuk membuat keputusan yang lebih baik bagi hal-hal yang serius dalam kehidupan Anda (karir/bisnis)? Umumnya, orang-orang sulit untuk mengenali apa yang relevan; mereka lebih mudah mengenali “apa yang baru”. Media ingin Anda percaya bahwa berita memberikan keunggulan kompetitif (jadi, kita merasa rugi kalau “ketinggalan berita”, kuatir dianggap gak gaul, atau ga update).

Padahal, semakin sedikit berita yang Anda konsumsi, semakin besar keuntungan yang Anda miliki. Kenapa? Jawabannya: baca poin 1-2 di atas, dan poin 4-5 di bawah ini.

4. Berita membawa emosi negatif. Karena media memilihkan berita-berita yang “menarik” (baca poin 2), sistem limbik terpicu. Berita-berita yang membuat gusar (misalnya pertarungan dalam pilpres) mendatangkan profit bagi media; mereka akan terus menulis berita dengan angle yang bikin orang tambah gusar dan tambah penasaran) akan memacu pelepasan glukokortikoid (kortisol). Hal ini membuat sistem kekebalan tubuh menurun dan menghambat pelepasan hormon pertumbuhan. Dengan kata lain, tubuh Anda akan stres kronis. Tingkat glukokortikoid yang tinggi menyebabkan gangguan pencernaan, kurangnya pertumbuhan (sel, rambut, tulang), gugup, dan rentan terhadap infeksi. Potensi efek samping lainnya: rasa takut, agresi, tunnel-vision and desensitisation (entah, terjemahannya apa).

5. Berita menghambat pikiran. Berpikir membutuhkan konsentrasi. Konsentrasi membutuhkan waktu lama yang tidak diganggu apapun. Tapi, berita-berita singkat secara khusus dirancang untuk mengganggu Anda. Mereka seperti virus yang mencuri perhatian untuk tujuan mereka sendiri. Berita membuat kita menjadi pemikir dangkal. Yang lebih parah lagi, berita sangat mempengaruhi memori.
Ada dua jenis memory (ingatan): jangka panjang dan pendek. Ingatan jangka panjang hampir tak terbatas, tapi daya kerjanya terbatas. Jalur dari ingatan jangka pendek ke ingatan jangka panjang disebut “choke point”; jika lorong ini terganggu, informasi yang didapat tidak akan masuk ke ingatan jangka panjang. Tak heran kalau kita ini sering pelupa. Padahal baru beberapa bulan yang lalu kita masih heboh ngata-ngatain si X (karena media membanjiri kita dengan keburukan-keburukan si X), eh, sekarang lupa lagi dan malah memuji-muji si X. Tak heran banyak politisi yang tebal muka. Mereka tahu, masyarakat cepat lupa pada kesalahan-kesalahan mereka.

Karena berita mengganggu konsentrasi, pemahaman kita pun melemah. Berita online memiliki dampak yang lebih buruk. Dalam sebuah studi yang dilakukan dua pakar di Kanada tahun 2001, disebutkan bahwa pemahaman menurun ketika jumlah hyperlink dalam dokumen meningkat. Mengapa? Karena setiap kali link muncul, otak Anda terpaksa membuat pilihan (mengklik, atau mengabaikan), yang dengan sendirinya mengganggu. Berita adalah sistem gangguan yang disengaja.
Masih banyak lagi yang lain: news has no explanatory power, news increases cognitive errors, news works like a drug, news wastes time, news makes us passive, news kills creativity (silahkan baca sendiri di artikel aslinya)

Lalu, apakah kita benar-benar tidak butuh berita / jurnalisme? Ini jawabannya (paragraf akhir dari artikel tsb):

**
Masyarakat membutuhkan jurnalisme, tetapi dalam bentuk yang lain. Jurnalisme investigatif selalu relevan. Kita memerlukan berita yang mengawasi birokrasi/pemerintahan, dan mengungkapkan kebenaran. Tetapi, penemuan-penemuan penting ini tidak harus selalu berbentuk berita. Artikel jurnal yang panjang dan buku yang mendalam (pembahasannya), juga bagus.
Saya telah melalui empat tahun tanpa berita, jadi saya bisa melihat, merasakan, dan melaporkan efek dari ‘bebas dari  berita’ ini secara langsung: gangguan berkurang, kecemasan berkurang, mampu berpikir lebih dalam, lebih banyak waktu, dan lebih berwawasan. Hal ini tidak mudah dilakukan, tetapi berharga.
**
Nah, demikian sekilas info. Semoga ada gunanya. :)
---
[1] https://www.theatlantic.com/magazine/archive/2008/07/is-google-making-us-stupid/306868/
[2]https://www.theguardian.com/media/2013/apr/12/news-is-bad-rolf-dobelli

Post a Comment

0 Comments