Agar Tak Sempat Maksiat |
(Budi Ashari, Lc)
➖➖➖➖➖➖➖➖
Maraknya maksiat di generasi muda negeri ini nyaris menyentuh titik biasa dan lazim. Mereka telah matang biologisnya tetapi tunas iman belum lagi tumbuh. Berbagai pembentengan yang dilakukan oleh orangtua, sekolah dan negara tak lagi mampu melindungi mereka. Gelombang besar syahwat telah meruntuhkan benteng-benteng itu. Karena seberapalah kuatnya benteng tanpa iman.
Berbagai benteng yang
sifatnya pengawasan fisik terus digulirkan. Tetapi pasti semua itu bersifat
sementara. Karena manusia yang menciptakan sistem itu. Sehingga semua bisa
diakali.
Setiap bicara tentang
pembatasan generasi dari maksiat zina, benteng paling efektifnya adalah iman.
Iman yang akan menghasilkan rasa selalu merasa diawasi oleh Allah membuat
mereka tidak berani menyentuh garisnya walau tidak ada yang melihatnya.
Memang solusi inilah
yang seharusnya terus ditanamkan sebelum masa mereka matang secara biologis
tiba. Sehingga benar jika dikatakan bahwa obat itu ada dalam diri mereka
sendiri. Ya, iman yang ada dalam dada mereka itulah yang menjadi benteng.
Tapi masalahnya banyak
yang tidak memahami bagaimana iman ditanamkan. Imam Ghazali dalam Ihya’
Ulumiddin mengkritik keras pengajaran iman versi filsafat. Berputar-putar,
rumit, membingungkan, sebatas di otak dan ujungnya bisa tidak bertemu Tuhan.
Sementara itulah yang bisa dirasakan dari kurikulum penanaman iman di negeri
ini. Hanya sebatas di otak tidak di hati. Hanya sebatas dikenalkan tidak
ditanamkan.
Tetapi bukan itu yang
akan kita bahas dalam tulisan kali ini.
Karena tetap saja,
salah satu fitrah manusia yang harus disalurkan adalah syahwat kepada lawan
jenis. Karenanya Al Quran melarang kerahiban,
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا
مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْإِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ
“Dan
merekamengada-ngadakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada
mereka tetapi (mereka sendiri yang mengada-ngadakannya) untuk mencari keridhaan
Allah.”(Qs. Al Hadid: 27)
Qotadah berkata:
Rahbaniyyah atau kerahiban adalah menolak (menikahi) wanita dan menetap di
gereja-gereja.
Rasulullah pun
mengingatkan tidak ada kerahiban dalam Islam. Beliau juga menegur keras
seseorang yang menekadkan diri untuk tidak menikah, “Demi Allah aku orang
paling bertakwa di antara kalian.......dan aku menikahi wanita. Siapa yang
membenci sunnahku bukan golonganku.” (Muttafaq alaih)
Dengan dalil-dalil
tersebut, maka jelas bahwa kerahiban yang menahan syahwatnya kepada lawan jenis
bertentangan dengan ajaran Islam. Syahwat kepada lawan jenis adalah fitrah yang
tidak bisa dilawan. Untuk itulah Islam mengatur dengan hati-hati. Dan tidak
membukanya kecuali hanya melalui: pernikahan.
Itu artinya,
pembentengan generasi muda dari maksiat zina dengan menggunakan iman dan yang
lainnya adalah tindakan sementara di usia awal mereka. Sementara sebelum mereka
bisa membangun rumah tangga. Karena suatu hari mereka harus menikah untuk
menyalurkan fitrahnya itu, yang dalam Islam bahkan merupakan bagian dari ibadah
suami dan istri.
Kalau pembentengan dan
penjagaan hanya sementara, maka tidak ada cara lain kecuali kita segera
memikirkan pernikahan anak-anak kita.
Di sinilah hancurnya
generasi muda kita yang berawal hancurnya konsep berumah tangga. Di satu sisi,
syahwat mereka dibangkitkan sepanjang jalan, seluas media dan pergaulan. Di
sisi lain, pernikahan usia dini disumbat. Maka, bukankah ‘wajar’ ketika mereka
menyalurkan syahwat mereka dengan cara maksiat yang membuat para orangtua
ketakutan dan negara kerepotan.
Konsep hancur itu
telah berefek luas. Sampai memunculkan sebuah pemikiran yang hampir rata di
masyarakat bahwa yang menikah di usia dini, hanya satu di antara dua: hamil
sebelum nikah atau tidak berpendidikan.
Bahkan dengan jelas
negara ini mengingatkan tentang pernikahan di usia dini yang dinyatakan sebagai
penyebab banyak masalah.
Lengkap sudah...
Pantas maksiat
menjamur...
Siapa yang bertanggung
jawab?
Anda tahu jawabannya!
Dari sinilah kita tahu
bahwa setelah upaya pembentengan, kita harus segera membahas tentang pernikahan
usia muda anak-anak kita. Agar mereka tidak sempat berbuat maksiat.
Mari kita tengok
sejarah kegemilangan Islam (rasanya sudah cukup kita berkata bahwa sejarah
hanya masa lalu. Karena ia sepertiga Al Quran).
Ali bin Abi Thalib
menikah dengan Fathimah putri Nabi dalam usia 21 tahun dan 15 tahun
Harun Ar Rasyid,
pemimpin paling hebat di dunia (seperti judul bukunya DR. Syauqi Abu Khalil),
menikah pada tahun 165 H. Padahal ia dilahirkan pada tahun 150 H.
Berarti usianya baru
15 tahun...!!!???!!!
Perlu juga anda
ketahui 5 tahun berikutnya ia dilantik menjadi khalifah dan ia menjadi khalifah
paling sukses di dinasti Bani Abbasiyyah. Yang memimpin selama 23 tahun.
Sekarang silakan
renungi yang dalam dan jujur, mana yang lebih hebat. Ali bin Abi Thalib dan
Harun Ar Rasyid atau kita, usia dan karya kita hari ini? Baru setelah ini
silakan bertanya bagaimana cara mencapainya.
Tulisan ini sengaja
dihadirkan untuk menyadarkan bahwa sejarah kebesaran Islam melahirkan
orang-orang yang berumah tangga di usia sangat awal. Karena Islam telah
menyiapkan anak-anak dengan sangat serius sejak awal. Sehingga mampu berkarya
sejak awal. Termasuk dalam urusan rumah tangga. Alangkah indah dan lengkapnya
hidup kita, jika kita bisa menikmati kebesaran anak berikut cucu. Dan kita akan
tinggalkan dunia dengan senyum indah melihat karya kita pada anak dan cucu.
Tapi apa daya, banyak
yang menikah terlambat. Bahkan, mendorong anak-anaknya untuk menikah lebih
terlambat lagi dengan segudang alat untuk menakut-nakuti tentang horornya dunia
pernikahan.
Dan subhanallah, saya
punya kisah sangat menarik. Saya bersyukur karena ketika tulisan ini sudah saya
rencanakan, ternyata Allah pertemukan saya dengan seorang teman, senior saya
ketika masih kuliah. Beliau menjadi direktur eksekutif sebuah sekolah Islam.
Di forum ilmu tersebut
beliau memberi sambutan mengejutkan, “Orang yang ada di depan Anda ini dalam
dua bulan lagi insya Allah akan menjadi kakek, padahal usianya belum genap 40
tahun. Anak saya yang pertama laki-laki sedang kuliah semester awal usianya 18
tahun dan sudah menikah. Dia juga telah hapal Al Quran berikut dua adiknya yang
lain. Saya bertekad lima adiknya pun akan hapal Al Quran.”
Hafidzokumulloh, ya
Usrotal Khoir...
Subhanallah, kisah
sukses itu ada di samping kita.
Ini saya kisahkan
karena keterbatasan ilmu dan akal kita menerima kisah-kisah jauh di zaman
kebesaran Islam. Kita sering baru bisa menerima kalau ada contohnya hari ini.
Maka, contoh sukses itu sudah ada di samping anda.
Di sisi lain
pembahasan ini, saya sadar betul bahwa anak-anak muda kita sangat tidak siap
berumah tangga.
Tapi sampai kapan kita
terus mendendangkan lagu kesedihan tentang anak-anak kita yang tak kunjung siap
dan tak kunjung kita siapkan.
Ayo bentengi mereka
dengan iman
Ayo siapkan mereka
untuk berumah tangga
Dan ayo sambut
pernikahan indah mereka di usia awal
Agar mereka tak sempat
maksiat!
Dan agar kita bisa
menikmati karya pada anak berikut cucu, biidznillah...
🍁🌼🍁🌼🍁🌼🍁🌼🍁🌼🍁
0 Comments