Stabilitas & Dinamika (Dynamic Stabilism)

https://ghazicorner.blogspot.com/
Stabilitas & Dinamika (Dynamic Stabilism)

Oleh : Harry Santosa

Syarat kebahagiaan adalah stabilitas dan dinamika. Ketika sepasang suami istri tak bahagia, maka dipastikan kehidupannya tak stabil dan tak dinamis. Cinta mereka berdua tak bertumbuh dan tak berkembang secara stabil dan secara dinamis. Umumnya karena terlalu dangkal memaknakan kata cinta, hanya sekedar suka, atau memaknakan bahagia sebagai sekedar kesenangan semata.

Dalam skala yang lebih besar, begitupula ketika sebuah organisasi  tak bahagia, berpisah dll maka dipastikan ia tak tumbuh dinamis walau berangkat dari yang stabil, atau sebaliknya ia terlalu tumbuh dinamis progresif namun tak berangkat dari yang stabil kokoh. Terlalu sibuk dengan asholah atau keasliannya kemudian menjadi jumud tak dinamis, atau terlalu sibuk dengan dinamikanya, sehingga liar dan tersasar.

Dalam skala yang lebih kecil, stabilitas dan dinamika ini juga kita temukan pada atom, ada inti atom yang stabil dan kokoh, juga ada elektron yang bergerak dinamis mengelilinginya. Mirip dengan macrocosmos, seperti tatasurya atau galaxy juga, ada stabilitas dan dinamika. Itulah dynamic stabilsm.

Begitupula sejarah, dalam rangkaian sejarah, ada hukum tetap yang berlaku sebagai staabilitas, dan ada hukum bergerak yang berlaku sebagai dinamika. Karenanya dalam menerapkan sejarah gemilang ummat Islam masa lalu, kita tak bisa gegabah "copy paste", karena ada unsur konteks zaman yang dinamis ketika ingin menerapkan kebaikan masa lalu, sambil tetap mempertahankan esensi stabilitas polanya.

Menjaga Stabilitas dan Dinamika inilah yang manjadi syarat perjalanan hidup dan kebahagiaan.  Seringkali dalam kehidupan, karena bandul terlalu condong ekstrim ke satu arah, maka kita kemudian mengambil antitesa lalu justru terlalu condong ke arah sebaliknya. Lalu apa bedanya? Pasti tak terjadi keseimbangan kembali dan mengulang kesalahan yang sama dalam bentuk berbeda.

Misalnya, ketika sistem persekolahan terlalu memberhalakan akademis dan mengungkung kebebasan belajar kecuali yang telah ditetapkan, maka kemudian muncul antitesa bahwa bakat lebih penting dan belajar harus merdeka. 

Begitupula ketika melihat dunia terlalu memberhalakan maskulinitas, kemudian berusaha memfemininitaskan segala sesuatu.

Karenanya kita harus adil dan beradab dalam segala sesuatu agar tenang dan bahagia, maksudnya mengkaji betul mana yang stabil dan mana yang dinamis agar berjalan bahagia dan tak menderita. Fitrah dan Kitabullah itu bicara stabilitas, namun penempatan sesuai tenpat dan perkembangan sesuai tahapan usia dan kedewasaan itu bicara dinamika.

Kembali kepada sistem pendidikan, permasalahannya bukan pada akademis dan non akademis/bakat, atau juga bukan pada merdeka atau tak merdeka belajar, namun pada apa yang stabil dan apa yang dinamis dalam obyek belajar yaitu ilmu, juga dalam proses belajar dll. 

Para Ulama karenanya membagi ilmu menjadi ilmu fardu 'ain dan fardu kifayah, begitupula dalam proses belajar dalam konteks usia, juga tempat dan zaman dimana pendidikan itu dijalankan.

Ilmu fardu ain adalah ilmu terkait makna makna kunci yang harus dipahami dan diakui oleh seorang mukmin.

Ilmu fardu ain, ini bicara stabilitas, seperti makna Allah, Akhirat, Islam, Fitrah, Kebahagiaan dll. Ini termasuk ilmu ilmu yang dibutuhkan karena kewajiban syariahnya datang, misalnya ilmu tentang sholat ketika kewajiban sholat datang. Imam Hambali menyebutkan ilmu fardu ain sebagai ilmu yang dibutuhkan 24 jam sehari. Selain daripada ini, dalam ilmu fardu kifayah, silahkan berdinamika sesuai kebutuhan dan konteks agar dinamis.

Di dunia barat, ilmu itu dianggap sesuatu yang progresif dinamis, karena menurut mereka tiada yang mutlak semua relatif berubah, karena Tuhan dalam benak mereka adalah tiada tuhan, atau tuhan kompetitor atau tuhan tak mengurusi dunia. Mereka tak mampu membedakan mana yang stabil dan mana yang dinamis, karenanya mereka tak bahagia dan tersesat dalam pencarian ilmu.

Itulah mengapa Aqal sering dimaknakan sesuatu yang rasional semata dan dipisahkan dengan Qalbu, padahal Qalbu sesungguhnya adalah puncak daripada Aqal.

Ini pula yang memengaruhi cara pandang tentang perubahan, bahwa perubahan itu selalu mengarah pada hal hal baru yang progresif dinamis, padahal sesungguhnya perubahan dinamis itu selalu awalnya berangkat dan akhirnya kembali kepada kesejatian fitrahnya sebagai unsur stabilitasnya.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiuuun, dari Allahlah kami berasal dan kepadar Allahlah kami kembali.

Salam Peradaban
#fitrahbasedlife

Post a Comment

0 Comments